Mengusung Intelektual Mesir
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Pada tiga dekade terakhir ini, hubungan antara Islam Arab dan Islam Indonesia terlalu jarang, terlalu tidak sinambung untuk dapat berbicara tentang temuan dan pengayaan intelektual yang timbal balik. Seolah-olah, dalam kancah intelektualisme, Islam di Indonesia fi wadin dan Islam Arab fi wâdin akbar. Selain kita, Muhammad Arkoun, pemikir asal Aljazair, juga pernah mengeluhkan ini. Penyebabnya bisa jadi karena keterbatasan sarana yang menjembatani hubungan itu. Forum ilmiah yang melibatkan dua pihak jarang diadakan. Transmisi pemikiran melalui penerjemahan buku- buku dan artikel juga sangat kurang. Sedangkan jembatan klasik yakni para mahasiswa yang belajar di masing-masing kawasan ini gagal melakukan fungsi transmisi dan dialog intelektual. Dalam konteks hubungan Indonesia-Mesir (sebuah negara Arab yang paling maju keilmuannya) juga mengalami hal yang sama.
Paling tidak hingga akhir dekade 60-an, meskipun bukan dialog, transmisi intelektualisme Islam Mesir ke Indonesia masih terjadi. Pada era Gamal Abdul Nasher itu, masih banyak para mahasiswa Indonesia yang mengakrabi pergulatan pemikiran keislaman di negeri Arab yang pernah menganut "sosialisme Arab" itu. Sehingga ketika pulang, mereka sanggup mengedepankan gagasan-gagasan baru, "oleh-oleh dari rantau" untuk didialogkan dengan wacana intelektualisme di Tanah Air. Namun semenjak itu hingga sekarang, yang semakin tampak nyata adalah transmisi Islam Mesir ke Indonesia dalam bentuknya yang militan dan aktivis.
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.