Diskursus Intelektual, Civil Society, dan Politik

##plugins.themes.bootstrap3.article.main##

Syafiq Hasyim

Abstract

Selama 5 tahun terakhir ini, setidaknya ada tiga hal penting—dalam derajat yang berbeda-beda—yang secara bersama-sama mewarnai kehidupan Nahdlatul Ulama (NU), yaitu diskursus intelektual, civil society dan politik. Dua diskursus pertama, intelektual dan civil society, telah menjadi corak utama NU pasca Khittah 1926. Kepemimpinan Abdurrahman Wahid, selama dua periode kepemimpinannya di dalam NU (1984-1999), telah memberikan sumbangan yang sangat penting dalam mengembangkan dua diskursus di atas. Dua periode pertama kepemimpinan Wahid (1984-1994), NU telah berhasil menciptakan suatu periode yang paling cemerlang dalam sejarah NU bagi perkembangan diskursus intelektualitas dan civil society. Keterlibatan aktivis-aktivis dan tokoh intelektual NU dalam gerakan-gerakan prodemokrasi dan hak asasi manusia, munculnya pelbagai lembaga swadaya masyarakat dan jaringan-jaringan civil society, serta keberlanjutan penerapan dan kerja-kerja civil society merupakan contoh kesuksesan NU dalam mengawal gerakan intelektual dan civil society. Perkembangan yang sangat baik pada saat itu tidak lepas dari model kepemimpinan yang dikembangkan Gus Dur yang kritis dan non-kompromis.

##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

How to Cite
Hasyim, S. (2024). Diskursus Intelektual, Civil Society, dan Politik. Tashwirul Afkar, 17(1), 7-20. Retrieved from https://tashwirulafkar.or.id/index.php/afkar/article/view/328


Section
Articles