ISLAM DAN DEMOKRASI: Mempertimbangkan Pemikiran Abdurrahman Wahid
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Kontroversi pandangan tentang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan pemikirannya tampaknya masih belum akan berakhir. Bukan saja karena pernyataan-pernyataannya yang sering dianggap nyleneh tetapi juga perilakunya yang sering mengejutkan banyak orang. Kontroversi itu terjadi baik bagi para pengamat sekilas maupun pengamat serius, baik didorong oleh rasa kesal dan jengkel maupun dengan simpati, "kawan" maupun "lawan". Salah satu hal yang menarik dalam pergulatan pemikiran Wahid untuk ditelusuri, yang juga banyak memancing kontroversi, adalah tentang Islam dan demokrasi, Douglas E. Ramage, —salah seorang asing yang mengamatinya dengan empati,— misalnya, melihat, meskipun Wahid berada di dua tempat yang berbeda, yaitu sebagai pemimpin Islam dalam kedudukannya sebagai Ketua PB-NU dan pemimpin nasionalis sekuler dalam kedudukannya sebagai Ketua Pokja Forum Demokrasi (Fordem), tetapi dalam kedua-duanya memiliki misi yang sama, yaitu demokratisasi dan toleransi. Dalam kedua peran itu, Wahid menggunakan Pancasila sebagai retorika dalam diskursus demokratisasi, baik ketika berhadapan dengan negara atau pemerintah.
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.