Dengan Penjam'iyyahan, NU Besar
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Menurut Anda, bagaimana format ideal NU pasca Muktamar? Sebetulnya bukan pasca Muktamar saja, sudah dari dulu saya mengidealkan NU betul-betul bisa menjadi organisasi. Selama ini NU masih jama'ah terus, sehingga tampang NU di luar menjadi aneh. Organisasi yang seperti ini kok nggak mati saja. Untuk ukuran organisasi, mestinya NU sudah bubar, akan tetapi kok tidak bubar. Meminjam bahasa Gus Dur, NU itu organisasi aneh, sidekick organization. Di dalam organisasi yang aneh itu terdapat dimensi jama'ah yang memang sudah ada sebelum diwadahi menjadi jam'iyyah yang disebut-sebut tradisional itu. Pada tahun 1940-an NU kemudian dimodernisasi dari jama'ah menjadi jam'iyyah oleh Kiai Mahfudz Siddiq, namun kemudian beliau wafat dan Jepang datang. Lantas hal itu tidak diteruskan, sehingga sampai sekarang ya begitu saja. Sentuhan-sentuhan kejam'iyyahan hampir-hampir tidak ada, dan bila dilihat dari kaca mata organisasi "ini organisasi apa, NU ini". Rapat tidak pernah kuorum, keputusan-keputusan tidak mulus. Pokoknya tidak seperti organisasi. Maka sejak 1984, di Situbondo, bahkan di Semarang, sudah banyak keinginan-keinginan kembali meneruskan rintisan Kiai Mahfudz, menjadikan NU sebagai jam'iyyah. Kalau NU menjadi jam'iyyah, maka problem-problem yang dilontarkan orang sekitar NU tidak akan terjadi, baik itu politik, sosial, budaya, dan hal-hal lainnya. Sekarang ini semua yang Anda persoalkan berkaitan dengan NU bisa dikembalikan pada masalah lemahnya jam'iyyah. Entah itu mengenai urusan di masa datang, masa kemarin, atau apa saja. Oleh karena itu, saya pernah berpesan kepada Anda, LAKPESDAM kalau bisa membuat konsep penjam'iyyahan sebagai bahan Muktamar.
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.