NU Era Reformasi dan Pasca Gusdur

##plugins.themes.bootstrap3.article.main##

Laode Ida

Abstract

Perubahan politik Indonesia yang terjadi sejak lengsernya penguasa Orde Baru (Orba) Soeharto, secara signifikan telah pula merubah orientasi para elite Nahdlatul Ulama (NU), yang sekaligus berimplikasi pada perubahan makna yang terkandung dalam konsep kembali ke khittah 1926. Ini terutama setelah NU secara resmi mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang dianggap KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai "telur" NU, di samping tiga partai lainnya (PKU, SUNI, dan PNU) yang juga didirikan oleh tokoh-tokoh kondang dalam NU. Sementara itu, Gus Dur sendiri sejak awal era reformasi, secara proaktif, termasuk di dalamnya diminta untuk mengambil peran dalam menggiring perubahan politik, sehingga setiap harinya disibukkan dengan urusan-urusan politik praktis, sampai akhirnya kemudian terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) yang ke-4. Kendati demikian, tindakan-tindakan politik para elite yang secara relatif memperoleh legitimasi organisasi NU seperti itu, oleh sebagian kalangan masih dianggap sebagai "ada masalah". Ini tentu kalau dikaitkan dengan sebuah penafsiran tertentu bisa berarti sudah melanggar konsensus nasional NU 15 tahun lalu itu. Sebab salah satu pernyataan penting dalam konsep itu adalah bahwa NU keluar dari politik praktis yang saat itu berafiliasi ke PPP (Partai Persatuan Pembangunan), seraya memberikan kebebasan kepada setiap warga NU untuk menentukan pilihan atau kiprah politiknya sendiri-sendiri.

##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

How to Cite
Ida, L. . (2024). NU Era Reformasi dan Pasca Gusdur . Tashwirul Afkar, 6(1), 4–22. Retrieved from https://tashwirulafkar.or.id/index.php/afkar/article/view/542


Section
Articles