Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Islam tidak hanya merupakan sebuah sistem kepercayaan dan ibadah, tetapi juga merupakan sebuah sistem kemasyarakatan sehingga lebih tepat disebut sebagai way of life bagi para pemeluknya. Islam tidak memisahkan antara hal-hal yang bersifat sakral dengan hal-hal yang bersifat sekuler (dunia), atau antara negara dengan "gereja". Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa Muhammad tidak hanya merupakan seorang nabi, tetapi juga seorang kepala negara. Demikian pula, empat orang penggantinya, yaitu al-Khulafa' al-Rasyidun, bertindak sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin negara secara terintegrasi, baik secara formal maupun substansial. Kondisi ini berlangsung hingga berakhirnya Dinasti Turki Utsmani pada tahun 1923, meskipun setelah masa al-Khulafa' al-Rasyidun, integrasi tersebut tidak terjadi sepenuhnya. Setelah kekhalifahan dihapuskan, muncul persoalan baru di beberapa negara Islam mengenai integrasi antara agama dan negara ini, baik dari segi pemikiran maupun praktik.
Meskipun ada perbedaan dalam pemikiran dan praktik kenegaraan antara masa klasik/pertengahan pasca al-Khulafa' al-Rasyidun dengan masa kontemporer, terdapat persamaan dalam proses perumusannya di kedua masa tersebut. Para pemikir pada kedua masa ini tidak hanya melakukan proses inovatif yang terinspirasi oleh al-Quran dan Hadits serta praktik kenegaraan masa al-Khulafa' al-Rasyidun, tetapi juga melakukan proses imitatif terhadap sebagian dari peradaban luar. Pada masa klasik, proses imitatif berasal dari filsafat Yunani serta praktik kenegaraan Romawi Timur dan Persia, sedangkan pada masa kontemporer, proses imitatif ini berasal dari pemikiran dan sistem politik Barat.
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.