Takfir, Teologis, atau Politis?
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Jika abad (20) ini dianggap sebagai abad pencerahan di Mesir, maka sebenarnya abad ini merupakan abad takfir. Bahkan sebenarnya, abad ini diawali dengan pencerahan dan diakhiri dengan takfir.....
Yang perlu ditegaskan adalah bahwa kebebasan berpikir selalu dipelopori oleh kelompok non formal dan tidak memiliki otoritas politik.
Demikianlah salah satu pengantar di majalah "Rauz al-Yûsuf " yang headline-nya mengkaji tradisi berpikir dan kekuasaan politik di Mesir. Pengantar di atas menggambarkan posisi cendekiawan dan politik (praktis) yang selalu berseberangan. Asumsi ini kurang lebih seirama dengan maksud Julien Benda dalam La trahison des clercs (1927). Menurut Benda, cendekiawan tidak boleh terikat oleh sekat-sekat budaya, ras, bahasa, bangsa dan geografi. Ia harus merasa sebagai unit komunitas global yang sejati. Dalam perang sekalipun, ia tidak harus membela dan berpihak pada bangsanya. Ia selalu ber-pihak pada kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Adagium right or wrong is my country, tidak ada dalam kamus mereka. Berbeda dengan sosok cendekiawan, menurut Benda, semua jenis aktivitas politik merupakan rezim militerisme dan jiwa kolektif dari realisme, materialisme, praktikalisme dan aktivisme. Oleh karena itu menurut Benda, cendekiawan tidak boleh terlibat dalam politik, militer dan diplomasi. Memasuki dunia itu berarti akan siap minimal terlibat menyebarkan kebencian terhadap ras lain, faksi politik dan sangat bangga dengan nasionalisme.
Dalam sejarah umat manusia, cendekiawan memang selalu mendapat masalah dari negara. Sejarah mencatat sekian banyak cendekiawan yang terepressi bahkan berakhir dengan kematian, oleh kekuasan dalam bentuk apapun; termasuk politik dan institusi agama. Kekuasaan politik memvonis mereka menyimpang, pengacau keamanan dan membahayakan negara, sedangkan otoritas teologis memvonis mereka murtad, zindiq dan kafir. Harus diakui bahwa sejarah Islam tidak berjalan secara linear saja. Umat Islam di beberapa negara mengalami dan merasakan berbagai suksesi kekuasaan yang dengan sendirinya mempengaruhi kebijakan negara. Setiap penguasa memiliki program dan kebijakan yang harus disesuaikan dengan wacana dan ideologi resmi. Maka tidak heran jika sejarah Islam juga mengenal tradisi oposisi; baik dalam politik atau pada tingkat resistensi pemikiran.
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.