Syariat Islam di Indonesia: Problem Masyarakat Muslim Kontemporer
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Perlukah syariat Islam diterapkan di Indonesia? Jika yang menjadi rujukan adalah jajak pendapat di Majalah Tempo edisi 24-30 Desember 2001, maka jawabnya adalah "Ya". Dalam jajak pendapat yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mayoritas responden (61,4 persen) menyatakan setuju pelaksanaan syariat Islam di Indonesia. Lebih dari separoh (57,8 persen), menyatakan setuju pada pemerintahan Islam, yakni pemerintahan yang diselenggarakan atas dasar ajaran al- Quran dan al-Sunnah dan dibawah kepemimpinan para ahli Islam (ulama atau kiai). Tuntutan pemberlakuan syariat Islam bukanlah hal baru. Gagasan ini sempat meramaikan perjalanan sejarah perja lanan bangsa Indonesia. Para tokoh nasional yang duduk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sempat berdebat keras tentang masalah ini. Para tokoh dari kalangan Is- lam, nasionalis sekular, maupun Nasrani, yang tergabung dalam Panitia Sembilan akhirnya memutuskan dirumuskannya "Piagam Jakarta" sebagai jalan kompromi. Soekarno menyebut keputusan BPUPKI itu sebagai "kompromi untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama." Ada baiknya diingat kembali petikan perdebatan seputar masalah Piagam Jakarta yang mengandung tujuh kata yang diperdebatkan hingga kini, yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Dalam sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, wakil Kristen dari Indonesia Timur, Latuhar- hary, menggugat kesepakatan soal "tujuh kata" yang telah dicapai dalam sidang sebelumnya. "Kalimat semacam itu dapat membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap adat istiadat. Oleh sebab itu, baiklah kita mencari modus lain yang tidak membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat.
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.