Menolak Fundamentalisme, Menolak Islam?
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Data historis membuktikan bahwa apa yang dianggap sebagai sistem islami (al-nidhâm al-islâmî) tidak lain merupakan cuatan politik dari para tokoh Islam sepeninggal Nabi. Kita bisa melihat dalam sejarah bahwa suksesi kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh khulafa' râsyidûn tidaklah monolitik karakteristiknya, melainkan terfragmentasi ke dalam berbagai bentuk sesuai dengan perubahan setting politik yang mengitarinya. Dari sudut ajaran, ayat-ayat tentang politik pemerintahan Islam sama sekali tidak dikenal dalam al-Qur'an. Kalaupun ada, tentu hanya garis besarnya saja. Begitu juga dengan hadits-hadits Nabi Saw. Seandainya konsep-konsep seperti khilâfah, imâmah atau imârah pernah disabdakan Nabi, mengutip pendapat al-Asymawi, tentulah perselisihan antara sahabat Anshar dan Muhajirin dalam peristiwa Saqifah banî Sa'idah tidak akan terjadi. Tak pelak lagi, sistem dan struktur pemerintahan Islam tak terumuskan secara jelas dan rinci dalam teks-teks agama selain hanya keharusan untuk selalu melandaskan praktek politik pada nilai-nilai universal seperti keadilan,persamaan, kasih sayang dan humanisme.
Jadi, bukankah semua itu persoalan tafsir dan-karena itu tepatkah mereka yang mengatakan bahwa penolakan terhadap Islam fundamentalis sebagai penolakan terhadap Islam?
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.