Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural: Sebuah Konsep Alternatif

##plugins.themes.bootstrap3.article.main##

Zakiyuddin Baidhawy

Abstract

Tiga dekade lamanya bangunan kerukunan umat beragama di Indonesia—kerukunan antarumat beragama, intra umat beragama, dan antarumat beragama dan pemerintah—di bawah motto Bhinneka Tunggal Ika, dipelihara lewat suatu mekanisme birokratis dan struktural. Untuk memelihara kerukunan dan kesatuan ini, pemerintah Orde Baru menyelenggarakan suatu kebijakan toleransi sosial yang menuntut bahwa tindakan apapun yang mengarah pada suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) harus dijauhkan. Orde Baru menerapkan kebijakan itu secara represif. Suasana hubungan antar umat beragama di Indonesia ditegargai banyak pengamat dalam dan luar negeri sebagai terbaik kala itu. Penekanan pada pendekatan top-down ini baru menemukan kegagalannya bersamaan dengan menjelang dan pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Ini ditandai dengan semaraknya aksi kekerasan—langsung maupun tidak langsung, struktural maupun kultural—dan konflik antaragama, antaretik, antarkelompok masyarakat, dan konflik politik. Merentang dari Aceh, Timor Timur, Sangeau Ledo, Situbondo, Jakarta, Solo, Sampit, Maluku, di Poso. Semua rentetan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sangat memprihatinkan ini terjadi dalam 7 tahun terakhir. Nyata sudah bahwa konstruk harmoni yang selama ini dibanggakan lebih merupakan sarang laba-laba yang rapuh dan mudah hancur. Teologi kemurahan yang telah ditegakkan rezim lama bersifat pasif dan tidak dinamis sehingga gagal menangkap gejala-gejala akar rumitnya harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara.

##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

How to Cite
Baidhawy, Z. (2024). Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural: Sebuah Konsep Alternatif. Tashwirul Afkar, 16(1), 110-142. Retrieved from https://tashwirulafkar.or.id/index.php/afkar/article/view/345


Section
Articles