Menjadi Kota santri: Wacana Islam dalam Ruang Urban di Tasikmalaya
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Pendapat Colombijn tentang peran penguasa terhadap pembentukan ruang urban di Sumatera selama abad ke-17 sampai awal abad ke-19 menarik untuk dibincangkan lebih lanjut. Selain mentekstualisasikan gagasan hegemoni, ruang urban menjadi arena kontestasi bagi penguasa untuk mengkomunikasikan posisi kekuasaan politiknya kepada pendukung-pendukung dan musuh- musuh mereka. Di tempat lain, Scott menulis bahwa desain ruang urban adalah bentuk pemudahterbacaan (legibility) dan penyederhanaan (simplification) yang dilakukan oleh negara untuk memu- dahkan kontrol terhadap alam dan masyarakat yang dikuasainya. Kalau Scott menyebut "modernisme tinggi" (high mod- ernism) sebagai ideologi dibalik proyek kontrol negara itu, Colombijn menyebut "Islam" menjadi rujukan ideologis untuk melegitimasi kuasa politik penguasa Sumatera selama abad ke-17 sampai awal abad ke-19 dalam pemanfaatan ruang dengan menunjukan simbol-simbol yang dipercaya menjadi representasinya. Sampai sejauh mana "Islam" dan "mo- dernitas tinggi" saling memperebutkan tempat dalam wacana kekuasaan politik tentu saja akan sangat terkait dengan konteks historisnya. Sangat mungkin pada satu konteks tertentu kedua wacana itu saling bersitegang, tetapi bukan tidak mungkin pada konteks yang lain kedua- nya saling membentuk.
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.