Makam, Identitas, dan Praktik Diskriminasi

##plugins.themes.bootstrap3.article.main##

Hamzah Sahal

Abstract

Tak ada hal yang mengejutkan saya ketika kali pertama datang ke Yogyakarta, kecuali sebuah area pemakaman yang luas, berjarak 300-an meter sisi selatan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Mengejutkan? Ya, mengejutkan. Inilah kali pertama saya melihat satu lokasi pekuburan "dihuni" dari berbagai latar belakang agama. Di sana, mula-mula saya melihat sebuah kuburan yang cukup menonjol karena posisinya di pinggir dan berukuran besar. Di sana terlihat patung-patung yang sering muncul di film-film Hongkong. Tidak jauh darinya, saya melihat nisan sederhana dari kayu berbentuk salib berjajar dengan batu nisan pipih berbentuk kubah masjid. Bersepar meter dari dua kekuburan tersebut, saya melihat sebuah arca Ganesha. Tembok setinggi satu meter, dengan luas kira-kira 3 meter persegi mengekilingi lambang agama Hindu tersebut. Ketika pandangan saya jauhkan ke seluruh penjuru pekuburan, juga terlihat pemandangan yang sama; tanda bahwa di lokasi pemakaman tersebut telah dimakamkan orang-orang dari beragam latar belakang agama. Bentuk, ukuran, serta bahan as tiap-tiap makam, mengabarkan kepada saya, juga kepada setiap orang yang melewatinya, bahwa pemakaman di Krapyak, Sewon, Bantul Yogyakarta, adalah pemakaman orang yang bekuatan ekonominya berbeda-beda. Mulai nisan yang terbuat dari sebatang kayu atau batu kusam hingga keramik Itali, dengan desain yang anggun.

##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

How to Cite
Sahal, H. (2024). Makam, Identitas, dan Praktik Diskriminasi. Tashwirul Afkar, 23(1), 64-76. Retrieved from https://tashwirulafkar.or.id/index.php/afkar/article/view/238


Section
Articles