Agamawan dan Reforma Agraria
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Orang Jawa sebenarnya petani; tanah di mana dia lahir, yang banyak menghasilkan dengan sedikit keluar keringat. Usianya dihitung dari berapa kali panen. Lamanya waktu dinyatakan dengan warna batang padi di ladang. Dia merasa senang di tengah-tengah teman-temannya memotong padi, mencari jodohnya di antara gadis desa yang menumbuk padi sambil menyanyi di malam hari. Pendeknya, menanam padi bagi orang Jawa, sama dengan memetik anggur bagi orang di daerah Rijn dan di selatan Perancis. Tapi datanglah orang-orang asing dari Barat. Mereka menjadikan dirinya pemilik tanah itu, tulis Multatuli (Eduard Douwes Dekker) dalam Max Havelaar. Roman itu ditertibkan 148 tahun lalu. Andai usia bukan pembatas hidup, mungkin saja kisah ini berjilid-jilid banyaknya. Karena tanah yang dirampas hingga kini belum juga tuntas. Sedikit susah mengatakan mereka sebagai penjajah, karena sejatinya kita telah merdeka. Tetapi bukalah sejarah, jutaan kaum tani yang sempat menikmati hasil land reform semasa orde lama, diburu, ditangkapi, dan dipenjarakan rezim Orde baru (Orba) tanpa proses pengadilan. Seperti diketahui, datangnya Orba sekaligus dentang kematian bagi agenda reforma agraria. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang seharusnya menjadi acuan bagi peraturan sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan, pertanian, pesisir dan laut, justru diabaikan. Bahkan tafsir Orba mengarahkan pembarlakuannya hanya pada 30 persen dari wilayah daratan, tidak termasuk hutan, sebuah kekeliruan yang terpelihara hingga sekarang.
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.