Kembali ke Pedesaan dan Pertanian
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Nyaris tidak lagi terdengar
ungkapan gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja. Kiasan sang Pujangga yang dulu acap terdengar dalam antawacana ringgit purwa di Balai Desa, telah mempengaruhi pikiran seorang anak desa yang hidup dari langgar ke langgar, jauh dari ingar-bingar kota. Pengaruh tersebut diperkuat sumpah serapah kaum ibu ketika jengkel terhadap putri nakalnya sembari sepatu: "tak dongakke mbesuk gedhe entuk bojo pegawai kowe ndhuuk...". Tersirat hebatnya potensi pedesaan dan pertanian tempo doeloe, ketika Nusantara masih meyakini diri sebagai Negara Agraris. Keyakinan itulah landasan prioritas yang tersurat dalam langkah keagrariaan sejak proklamasi 1945, dan ditopang berbagai lembaga teknis pembangunan pedesaan dan pertanian yang dipandang sebagai soal hidup atau mati. Semangat prioritas ini secara substantif-revolusioner mulai dirancang melalui dibentuknya Panitia Agraria Jogjakarta, 1948.
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.