Adakah Strategi Kebudayaan NU?
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Kehadiran sebuah organisasi tidak bisa dilepaskan dengan pengorganisasian mendasarkan langkah-langkah dalam melangsungkan cita-citanya. Begitu juga dengan Nahdlatul Ulama, kehadiran Jam'iyah Diniyah Islamiyah 'Iyyah (organisasi sosial keagamaan) yang didirikan pada tahun 1926 ini pun tidak lepas dari cita-cita besar para pendirinya. Cita-cita besar itulah yang sejatinya terus diperjuangkan oleh generasi penerusnya. Di sinilah perlu adanya strategi dalam memperjuangkannya.
Adakah strategi kebudayaan yang dimainkan Nahdlatul Ulama dalam menggapai cita-citanya? Inilah yang menjadi tanya dan menanti jawab. Pasalnya, ormas sebesar NU tentu diharapkan bisa memainkan peran-peran strategis dalam melakukkan terciptanya kesejahteraan warga yang menjadi idealisme nya.
Perbincangan inilah yang menjadi tema utama edisi kali ini. Mengusung tema Menemukan Kembali Strategi Kebudaya-an NU, edisi kali menghadirkan sejumlah perspektif terkait dengan upaya Nahdlatul Ulama dalam memainkan strategi kebudayaannya. Bisri Effendi yang kami undang sebagai redaktur tamu memaparkan dalam tulisannya, Politik Kebudayaan: NU Menolak Transnasional, bahwa kehadiran NU sejak awal berdirinya, di antaranya adalah dalam rangka menolak Islam transnasional. Perjuangan ini berlangsung hingga saat ini, meskipun medium dan corak penolakannya berbeda.
Tulisan ini juga ditopang oleh beberapa artikel utama yang masing-masing memotret strategi dan politik kebudayaan ini. Ini misalnya ditulis oleh Muhammad Nurkhoiron, Strategi Kebudayaan NU: Dakri Politik Kebudayaan ke Kebudayaan Pasca Orde Baru dan Insyad Zamjani, Dari Politik Kebudayaan Menjadi Budaya Politik: Pengalaman NU. Dua tulisan ini mencoba meresikam sepak terjang NU dalam mengokarkan posisinya di hadapan politik- strategi negara Orde Baru. Tentu saja, representasi organisasi yang dimainkan tidak lepas dari logika fikih dan koridor ideologi Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Di samping itu, edisi ini juga dilengkapi dengan tulisan khusus tentang kesibukan, sebuah lemabaga budaya NU yang pada awalnya berhadapan secara vis a vis dengan Lekra, lembaga budaya kalangan komunis. Ini misalnya terlihat dalam tulisan Chotirouran Chisaan, Lesbumi: Kini, Lampau dan Datang serta Dodo Wibardaya, Film, Lesbumi, dan Strategi Kebudayaan NU.
Melengkapi edisi ini, redaksi juga menghadirkan wawancara eksklusif dengan Rais Aam PBNU, KH. Sahal Mahfudh, di samping juga dengan budayawan dari Tasikmalaya, Acep Zamzam Noer. Akhirnya, semoga edisi kali ini membekan perspektif baru bagi pembaca untuk ambil bagian dalam memperjuangkan Nahdlatul Ulama dalam menggapai cita-cita besarnya. Selamat membaca!
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.