Pancasila Dalam Perspektif Aswaja an-Nahdliyah dan Marhaenisme
##plugins.themes.bootstrap3.article.main##
Abstract
Perdebatan krusial tentang dasar negara, setelah perumusan 1945, berlangsung tahun 1956– 1959 di Dewan Konstituante. Kaum nahdliyin mengusulkan Islam sebagai dasar negara, sementara kaum marhaenis mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Islam sudah bergumul dengan tradisi kebudayaan nusantara sehingga melahirkan kepribadian bangsa Indonesia berkeyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, egaliter, demokratis, kebangsaan dan patriotik, berperikemanusiaan, dan berkeadilan sosial. Sementara kaum marhaenis berkeyakinan Pancasila merupakan resultante (sintesa) dari seluruh komponen kekuatan kultural bangsa. Perdebatan itu berhasil menyusun rumusan awal sebagai kompromi yaitu negara RI berdasarkan kehendak masyarakat sosialis yang ber-Tuhan Maha Esa menurut Islam, Kristen, Katolik, dan lain-lain agama yang berada di tanah air. Dasar berikutnya adalah persatuan bangsa dengan sifat-sifat gotong royong, perikemanusiaan, kebangsaan dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Namun rumusan kompromi tidak menjadi putusan akhir. Pilihan jalan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kemudian diterima oleh golongan pengusung Pancasila dan golongan Islam untuk kembali ke UUD’45. Umat Islam berhasil memasukan esensi Piagam Jakarta menjiwai dekrit tersebut. Sehingga kaum nahdliyin dapat memastikan bahwa agama sebagai unsur mutlak nation and character building.
##plugins.themes.bootstrap3.article.details##

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.